Laporan Musriadi Musanif
(Wartawan Utama/Instruktur Jurnalistik)
GUNUANG OMEH, kiprahkita - Bila di Sumatera Utara ada Taman Firdaus, maka Sumatera Barat punya Kampuang Sarugo.
Taman Firdaus adalah destinasi wisata religi populer di Kabupaten Dairi. Di taman ini, wisatawan bisa menjejak perjuangan para rasul sejak dari Nabi Adam sampai kepada Ibrahim, Musa, dan Isa.
Arealnya yang teduh ditanami pepohonan rindang, membuat pengunjung betah berlama-lama. Apalagi posisinya di ketinggian, membuat mata bebas memandang nun jauh, tertumbuk hingga ke Kota Sidikalang, beberapa perkampungan masyarakat, dan areal pertanian tanaman hortikultura yang subur menghijau.
Di Kampuang Sarugo, Anda tidak benar-benar masuk sorga, karena penerjemahan sarugo dalam Bahasa Minangkabau adalah sorga. Sarugo dalam konteks ini adalah penyingkatan kalimat dari Saribu Gonjong. Maksudnya, di kampung ini ada banyak rumah gadang berusia lebih dari satu abad, dengan gonjong-gonjongnya yang seakan-akan menjuluk langit.
Posisi Kampuang Sarugo itu jauh di pedalaman Sumatera Barat. Tersuruk di pelukan jajaran bukit barisan. Tapi jangan khawatir dulu, akses hingga ke ujung kampung sudah terbuka dengan jalan beraspal. Kendati sempit, berliku, terban, dan aspal yang mengelupas di beberapa titik, namun masih nyaman untuk dilintasi dengan kendaraan roda empat ukuran kecil.
Kampuang Sarugo itu terletak dalam wilayah Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Kampung ini dekat ke Palupuah di Kabupaten Agam, atau ke Bonjol di Kabupaten Pasaman. Sayangnya, akses jalan raya ke Agam dan Pasaman itu masih sulit dilalui kendaraan.
Sejak memasuki Nagari Koto Tinggi, ketika Anda datang dari arah Payakumbuh, aroma perjuangan sudah mulai terasa. Benar! Nagari itu menjadi tempat para pejuang kemerdekaan, mempertahankan keberadaan Republik Indonesia dari agresi Belanda yang hendak menjajah kembali.
Di ujung jalan, terdapat sebuah gerbang terbuat dari ijuk bertuliskan : SARUGO, Saribu Gonjong. Gerbang unik itu menjadi pertanda Anda sudah berada di sebuah kampung kecil, dipeluk hutan belantara pada ketinggian perbukitan. Di sela-sela semak itu, terdapat kebun jeruk milik masyarakat.
Seperti disinggung di atas, Kampuang Sarugo itu bukan nama aslinya. Nama tersebut dilekatkan, ketika kampung itu dibina untuk kemudian diikutkan lomba Anugerah Pesona Indonesia (API) dan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Juga penilaian Apresiasi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tingkat Sumbar tahun 2021.
Kampung Sarugo itu memanjakan mata. Panorama indah terbentang sejauh mata memandang. Ada banyak rumah-rumah tua berarsitektur rumah gadang Minangkabau di situ. Gonjongnya menjulang tinggi. Agaknya, itu pulalah salah satu pertimbangan untuk memberinya nama Kampung Sarugo: Saribu Gonjong.
Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, tempat Kampung Sarugo berada merupakan nagari hebat. Koto Tinggi adalah nagari perjuangan. Tempat di mana para pemimpin bangsa, berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Nagari ini adalah pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
PDRI terbentuk pada 22 Desember 1948 di Halaban, masih dalam wilayah Kabupaten Limapuluh Kota, lalu kemudian bergeser ke Koto Tinggi. Latar belakang pembentukan PDRI itu sendiri adalah karena pemimpin Republik Indonesia (RI) Soekarno Hatta ditawan oleh Belanda yang melakukan agresi.
Agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan, maka Menteri Perekonomian Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, mengambil inisiatif membentuk pemerintahan darurat. Tindakan itu mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. PDRI di bawah pimpinan Syafruddin, aktif melakukan perjuangan dan mengabarkan ke dunia internasional, bahwa Republik Indonesia masih ada.
Tapi Bukittinggi tidak aman. Serangan pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Maka Syafruddin dan kawan-kawan, memilih Koto Tinggi sebagai pusat kendalinya.
Kini, di situ masih ditemukan rumah yang menjadi kantor pemerintahan RI itu. Ada pula tugu menjulang tinggi, mengingatkan pengunjung nagari ini kepada peran penting Koto Tinggi dalam mempertahankan NKRI.
Kampung itu terasa sepi. Masyarakatnya, kalau siang, banyak yang pergi ke kebun jeruk dan areal pertanian lainnya. Kebun jeruk itu, kini banyak yang tak terurus lagi, karena serangan hama dan mahalnya harga pupuk.
Terlepas dari jeleknya infrastruktur dan serangan hama terhadap tanaman jeruk rakyat, Kampuang Sarugo adalah potensi besar yang bisa berkembang jadi primadona.
Buktinya, tak membutuhkan waktu lama didampingi tim dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Kampung Sarugo berhasil meraih dua penghargaan bidang kepariwisataan sekaligus, yaitu Peringkat I Apresiasi Pokdarwis se-Sumbar dan ADWI Tahun 2021 dari Kementerian Pariwisata. Pada tahun 2020, Kampung Sarugo memperoleh Anugerah Pesona Indonesia.***
0 Komentar