![]() |
Asrama Perguruan Diniyyah Puteri, tempat merah putih berkibar beberapa jam setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.(musriadi musanif) |
PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Sebentar lagi, Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia ke-78 akan diperingati. Puncak upacaranya akan dilaksanakan pada 17 Agustus 2023.
Sejak 1 Agustus 2023, bendera Merah Putih sudah berkibar di mana-mana, dari metropolitan hingga ke pedesaan, dari lembah-lembah hingga ke puncak gunung. Merah putih berkibar membangkit jiwa patriotisme.
Sebagaimana diketahui, Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan pada Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di Pegangsaan Timur Jakarta, oleh dua proklamator; Soekarno dan Hatta.
Penyebarluasan informasi tentang proklamasi itu tidaklah semudah seperti saat ini. Waktu itu, alat telekomunikasi sangat terbatas.
Di tengah keterbatasan itulah, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat, mencatat sejarah penting. Hanya beberapa jam setelah proklamasi kemerdekaan, bendera merah putih sudah berkibar di halaman lembaga pendidikan yang didirikan Rahmah El-Yunussiyyah pada 1 November 1923.
Inilah pertama kali bendera Merah Putih berkibar di Sumatera Barat. Bendera yang dikibarkan itu, menurut pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri saat ini; Fauziah Fauzan El-Muhammady, dijahit sendiri oleh Rahmah, dan dikibarkan di tiang bendera yang posisinya kini persis di depan Asrama Putri yang berdiri kokoh.
Bila sebelumnya Rahmah turut berjuang bersama para pahlawan dan anak bangsa untuk merebut kemerdekaan dari penjajah, maka terhitung sejak dikibarkannya bendera Merah Putih di Perguruan Diniyyah Puteri –kemudian dikenal sebagai bendera Indonesia pertama yang dikibarkan di Sumbar, perjuangan Rahmah bersama murid dan rekan-rekannya beralih menjadi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
“Beliau memang dikenal sebagai pejuang perempuan handal, baik di masa perjuangan kemerdekaan, maupun ketika mempertahankan kemerdekaan. Selain aktif di medan perang, dia juga menyediakan dapur umum untuk para pejuang kemerdekaan, sekaligus merawat para pejuang yang terluka di medan laga,” kata Zizi, sapaan akrab Fauziah Fauzan.
Rahmah aktif menyediakan logistik untuk kepentingan para pejuang, dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang kini sudah genap berusia 76 tahun. Dia pernah ditangkap penjajah Belanda, saat membagi-bagikan senjata kepada para pejuang kemerdekaan di kawasan Gunung Singgalang.
Selain tercatat sebagai orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat, Rahmah yang sudah mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan terbesar di usia 23 tahun itu, juga dikenal sebagai pemimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Kota Padang Panjang.
Dia ikut mendirikan Laskar Hisbullah dan Sabilillah. Rahmah pulalah yang menghimpun dana dan membelikan senjata untuk Batalyon Marapi yang gigih melawan Belanda. Rahmah ditangkap Belanda saat membagi-bagikan senjata untuk anggota batalyon di hutan-hutan lereng Gunung Marapi.
Fauziah bercerita kepada penulis suatu ketika, perjuangan Rahmah dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, memang tak diragukan lagi. Fakta-fakta sejarah demikian jelas. Cuma saja, hingga saat ini Rahmah belum mendapat keputusan presiden (keppres) yang mengangkatnya menjadi pahlawan nasional RI.
“Tidak masalah. Toh, perjuangan beliau murni dan ikhlas demi bangsanya. Rahmah sudah mendidik pahlawan nasional sekelas Rasuna Said. Beliau juga sudah mendapat penghargaan Mahaputra Adipradana yang diserahkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 silam,” terang Fauziah.
Bintang Mahaputera Adipradana adalah penghargaan tertinggi negara yang diberikan kepada seseorang yang berjasa luar biasa di bidang pendidikan, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perjuangan bangsa yang diakui secara nasional dan internasional.
Rahmah meninggal dunia pada 26 Februari 1969. Lembaga pendidikan yang dijadikannya basis pendidikan dan perjuangan terus berkembang. Kini, di Diniyyah Puteri terdapat sejumlah lembaga pendidikan, sejak dari PAUD hingga perguruan tinggi.
Ada pula sederetan divisi otonom untuk mendukung pembinaan para santrinya yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia dan sejumlah negara sahabat.
Riwayat hidup, perjuangan dan perjalanan Rahmah itu, sudah banyak ditulis dalam berbagai bentuk, termasuk film-film dokumenter.
Selain tersimpan dalam bentuk dokumentasi dan literatur, baik di media dalam jaringan (daring) internet maupun luar jaringan (luring), jejak perjuangan Rahmah kini juga dapat dilihat di Museum Rahmah El-Yunusiyyah yang dibangun dan dikembangkan jajaran Perguruan Diniyyah Puteri sejak beberapa tahun belakangan.
Museum dibangun di rumah yang merupakan bukti sejarah tempat rahmah lahir dan dibesarkan. “Museum ini kami dirikan setelah musyawarah bersama keluarga besar, termasuk para kerabat dan wisatawan yang kerap mampir ke Perguruan Diniyyah Puteri,” sebut Fauziah.
Di museum itu kini dapat ditemukan sejumlah peralatan rumah tangga yang pernah digunakan Rahmah, begitu pula dengan galeri foto dan barang-barang peninggalan almarhumah, seperti lemari, tempat tidur, dan mesin ketik.
PAHLAWAN NASIONAL
Beberapa murid Rahmah sudah diangkat menjadi pahlawan nasional, di antaranya adalah Rasuna Said. Tapi, Rahmah hingga kini belum juga mendapat gelar itu. Beberapa kali diusulkan, namun belum juga membuahkan hasil menggembirakan.
Melalui Kongres Wanita Indonesia, Kamis 9 Maret 2023, pengusulan pahlawan nasional untuk Rahmah kembali digaungkan. Perguruan Diniyyah Puteri bersama Pemko Padang Panjang juga mengusulkannya.
Pengusulan dilakukan Ketua GOW Kota Padang Panjang Nova Era Yanthy Asrul, Pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri Fauziah Fauzan El-Muhammady, bersama Kepala Dinas Sosial Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSPPKBPPPA) Osman Bin Nur.
Perjuangan Rahmah di bidang pendidikan dan militer, sebenarnya sudah tak perlu diragukan lagi. Ada banyak bukti kuat yang dimiliki. Rahmah telah mendidik banyak generasi muda puteri asal Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand dalam kurun waktu 1923 hingga 1960-an.(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama)
0 Komentar