Universalitas Taufiq Ismail (III)

Jo Puisi, Denai….


Jo puisi denai badendang

Sampai sanjo umua manjalang

Jo puisi denai bacinto

Sabateh laweh alam nangko

Jo puisi denai mangana

Kaabadian dunia nan fana

Jo puisi denai maratok

Sansaro iduik nan indak diharok

Jo puisi denai mangutuak

Angok zaman nan busuak

Jo puisi denai bado’a

Semoga Tuhan mandanga



Taufiq Ismail, 1965

Alih Bahasa Minang oleh Nazif Basir



Oleh Musriadi Musanif, S.Th.I

(Wartawan Utama/Korda Singgalang Kabupaten Tanah Datar)


PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Kerisauan terhadap rendahnya apresiasi siswa terhadap sastra, yang salah satu indikasinya adalah rendahnya kemampuan menulis dan tidak mentradisinya membaca, menjadi salah satu motivasi bagi dirinya untuk menghadirkan Rumah Puisi, sebagai salah satu perpustakaan yang mampu memenuhi kebutuhan semua kalangan terhadap tradisi membaca dan menulis.


BACA JUGA


“Sesungguhnya seluruh karya sastra, yaitu sajak, cerpen, novel, drama dan esai, semuanya pasti memiliki keindahan puitiknya masing-masing yang khas. Demikianlah istilah puisi menjadi kata sifat bersama dan payung dari seluruh karya sastra,” kata Taufiq Ismail, suatu ketika.


Puisi bagi Taufiq Ismail adalah universalitas. Keberadaan puisi dalam lingkaran kehidupan manusia menjadi sesuatu yang amat penting, karena mampu mengasah kehalusan jiwa, khususnya dalam bersikap dan menyampaikan gagasan.


Jo Puisi, Denai….dapat mengungkapkan apa saja yang ada dalam pikiran, perasaan, dan mengganjal di hati.


Ibarat frekuensi radio, puisi yang diungkapkan penyair harus diterima dengan pesawat radio yang baik dengan frekuensi yang tepat pula. Begitulah puisi. Diciptakan, dikemas, dibacakan, dan dipublikasikan oleh penyair seperti Taufiq Ismail, harus pula diterima dalam frekuensi yang sama oleh audiensnya.


Itu pulalah sebabnya, sejak dahulu Taufiq Ismail selalu mendorong kegiatan menulis, membaca, dan belajar sastra.


Dalam gerakannya beberapa dasawarsa belakangan, Taufiq dan rekan-rekan penyair terlihat berjibaku membangun cara pandang baru dalam mengajarkan sastra, agar apa yang menjadi harapan dari Jo Puisi, Denai….dapat menjadi realitas yang tepat untuk dilalui dalam menjalani hidup dan kehidupan ini.


“Ko-insidensi sangat menguntungkan yang terjadi adalah gelombang reformasi 1998 yang melepaskan Indonesia dari monolithisme politik 39 tahun, berada pada Orde Lama dan Orde Baru, sehingga terbuka luaslah peluang bagi paradigma baru ini, di antaranya dengan membimbing siswa memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira,” katanya pada suatu ketika, saat menjadi narasumber pada sebuah seminar internasional yang penulis ikuti, dilaksanakan di Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat.


Selain bimbingan, menurutnya, dalam paradigma baru itu siswa dibiasakan membaca langsung karya sastra; puisi, cerita pendek, novel, drama dan esai, bukan melalui ringkasan. Karena itu, sebutnya, buku-buku yang disebut di dalam kurikulum harus tersedia di perpustakaan sekolah. Kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa menjadi beban, baik bagi siswa maupun guru yang mengajarkannya.


Dalam konteks universalitas puisi, Taufiq menegaskan bahwa dalam puisi dan sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai. Sebab, tidak ada tafsir tunggal dalam karya sastra, termasuk puisi, sepanjang dikemukakan dalam disiplin berfikir yang logis.


Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggungjawab, pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia, optimisme, kerja keras, keberanian mengubah nasib, merupakan tatanan nilai-nilai luhur yang sempat hancur. Jo Puisi, Denai… akan mengembalikan hakikat manusia itu dalam konstelasi yang sesungguhnya.

Buku Dengan Puisi, Aku: 1 Puisi, 80 Bahasa, 80 Tahun diluncurkan saat Taufiq Ismail memasuki usia 80 tahun, bersamaan dengan sepuluh tahun kiprah Rumah Puisi.


Pada kesempatan itu, juga di-launching buku Taufiq lainnya, yakni Debu di Atas Debu dalam berbagai bahasa dunia, di antaranya Bahasa Arab, Inggris, Persi, Prancis, Tionghoa, Jepang, Korea, Belanda, Rusia, Jerman, dan Bosnia Herzegovina.


Hadir pada kesempatan itu banyak penyair yang dikenal secara luas. Mereka unjuk kebolehan membacakan puisi-puisi, di antaranya Iman Saleh, Rusli Marzuki Saria, Abrori A. Djabbar, Prof. Harris Efendi Thahar, Nazaruddin Nasution, dan Direktur Utama Balai Pustaka Ahmad Fahroji.


Ada juga Prof. Aliyah Rasyid Baswedan (ibunda Anies Baswedan), Prof. Mestika Zed (almarhum), Ida Taufiq Ismail (adik kandung Taufiq Ismail), Hanifah (ketua Forum Alumni Kohati Nasional), dan sejumlah pemuka masyarakat lainnya.


Pada kesempatan itu, sejumlah penyair pun mengekspresikan perasaan mereka terhadap buku  Dengan Puisi, Aku…tersebut.


“Ini sungguh penghormatan besar. Terima kasih banyak, Bung Victor. Tak terbayangkan format hadiah yang semacam ini sebelumnya. Saya membayangkan 58 puisi alih bahasa ini, termasuk tambahan 22 terjemahan dalam bahasa daerah di Indonesia (dikoordinir oleh Ati Ismail) melayang ke 80 tempat di 4 benua, menyampaikan enam alasan saya menulis puisi, ditulis 50 tahun lalu,” ucap Taufiq Ismail pada 25 Juni 2015, saat peluncuran buku tersebut yang bersamaan dengan 80 tahun usia beliau.(bersambung)

Posting Komentar

0 Komentar