Oleh Dr. Irwandi Nashir
- Dosen dan Kepala Pusat Hubungan Internasional
- UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi
- E-mail:[email protected]
OPINI, kiprahkita.com - Menjelang akhir 2023, saya intensif mengamati upaya Persatuan Cendekiawan Minang Malaysia (PCMM), untuk mengikhtiarkan supaya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) menjadi organisasi yang terdaftar resmi di pemerintahan Malaysia.
![]() |
Penulis (tiga dari kiri) menyerahkan buku “Percikan Pemikiran Tokoh-Tokoh Muhammadiyah untuk Indonesia Berkemajuan” yang diterbitkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada En Azham, Direktur Leadership Development, Razak School of Government, Malaysia, 16/1/2024, di Bukittinggi. (Dok.Pribadi). |
Sejak didirikan pada 2017 hingga kini, telah ada beberapa upaya untuk mendaftarkan PCIM Malaysia sebagai organisasi resmi, namun hingga kini belum berhasil.
Pada 2024 ini sepertinya ada harapan untuk PCIM Malaysia menjadi organisasi yang terdaftar di pemerintah Malaysia. Kehadiran PCIM Malaysia tentunya akan membuka jalan untuk lebih banyak lagi memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Awal 2024, saya juga bertemu dan berdiskusi dengan pengurus LSM terkemuka Malaysia, Benevolent dan lembaga pelatihan kepemimpinan Malaysia, Razak School of Governement (RSOG), Malaysia tentang upaya menggali pemikiran kepemimpinan nusantara, tak terkecuali yang telah dicetuskan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Ghirah dari luar negeri, khususnya Malaysia, untuk mengukuhkan eksistensi Muhammadiyah di luar negeri, berikut menggali pemikiran kepemimpinan publik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, patut diapresiasi dengan terus memberikan kontribusi pemikiran dan jalan, agar Muhammadiyah hadir secara resmi dan berbuat nyata untuk masyarakat.
Narasi internasionalisasi Muhammadiyah telah diwasiatkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, yang direkam dengan baik oleh salah seorang muridnya yang bernama H. Abdoel Aziz, hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Soewara Moehammadijah tahun 1927 dan salah satu pengurus Bagian Taman Poestaka Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Ketika itu, Abdoel Aziz sedang berkorespondensi dengan K.H. Baqir di Makkah (lihat “Penting-penting. Moehammadijah di Hedjaz,” Soewara Moehammadijah no. 12 tahun 1926). K.H. Baqir bin K.H. Noor ini tidak lain adalah kerabat K.H. Ahmad Dahlan yang sedang menetap di Makkah.
“Moehammadijah haroes hidoep. Moehammadijah akan hidoep boeat seloeroeh doenia. Moehammadijah jalah mendjadi Bapaknja Doenia, jang akan mendidik doenia mendjadi baik dan benar. Kaoem Islam di doenia bakal berta’lok pada Moehammadijah,” demikian K.H. Ahmad Dahlan berwasiat kepada murid-muridnya.
Saat itu, bagi mereka yang tidak mempunyai visi global yang kuat wasiat pendiri Muhammadiyah itu dianggap mimpi di siang bolong. Kenapa? Karena wasiat yang disampaikan pada awal abad ke-20 dinyatakan ketika kualitas sumber daya umat Islam Indonesia pada umumnya masih sangat rendah.
Pada saat yang bersamaan, di luar Hindia-Timur, terutama di negara-negara muslim di Timur Tengah, umat Islam masih dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Bagaimana mungkin gerakan Islam yang berpusat di pojok Barat Daya Kampung Kauman yang hanya diikuti oleh pemuda-pemudi dalam hitungan belasan orang mampu menaklukkan dunia?
Kiyai Dahlan pada kesempatan lain juga berpesan kepada murid-muridnya, “Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Jadilah guru, kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dll kembalilah kepada Muhammadiyah” (lihat Junus Salam, Riwajat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1968, hlm. 51-52).
Nasehat itu boleh jadi dipandang sebagai pelipur lara bagai kalangan awam. Tapi, bagi para pemimpin ummat yang visioner dan mujaddid (pembaharu) seperti murid-murid Kiyai Dahlan dan penerusnya wasiat itu dipegang erat dan berikhtiar untuk mewujudkannya.
Berasaskan tauhid, para mujaddid berjuang menjalankan roda Persyarikatan Muhammadiyah. Pesan tersebut menyiratkan semacam cetak biru (blue print) gerakan bahwa nantinya setelah melewati masa 50 tahun, 100 tahun, 200 tahun dan seterusnya, gerakan Muhammadiyah akan berubah jauh, berbeda dengan kondisi pada masa ketika pertama kali dirintis di Kampung Kauman, Yogyakarta, awal abad ke-20.
Upaya melebarkan sayap Muhammadiyah di luar negeri adalah senafas dengan nafas visi global Muhammadiyah yang telah dicetuskan oleh pendirinya. Tampaklah oleh kita betapa visonernya Kiyai Dahlan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang lahir dari nusantara untuk seluruh bangsa di dunia.
Selepas wafat K.H. Ahmad Dahlan (23 Februari 1923 pukul 23.00), wasiat Kiyai Dahlan tetap dipegang erat oleh penurusnya. HB Muhammadiyah menggelar Rapat Tahunan dan berhasil menunjuk K.H. Ibrahim, adik ipar K.H. Ahmad Dahlan, sebagai President HB Muhammadiyah kedua.
Dalam Perkumpulan Tahunan (Jaarvergadering) Muhammadiyah yang diselenggarakan pada 30 Maret-2 April 1923 di rumah R. Wedana Djajengprakosa di Kauman, Yogyakarta, selain berhasil menetapkan K.H. Ibrahim sebagai President HB Muhammadiyah, dalam proses rapat-rapat yang melibatkan berbagai perwakilan, terdapat beberapa usulan (vorstel) yang cukup menarik.
R. Ng. Djojosoegito, Sekretaris HB Muhammadiyah, mencatat jalannya rapat dan merangkum usulan dari Cabang Muhammadiyah Banjarnegara: ”Soepaja Moehammadijah mengoesahakan peroeloengan (steunfonds) goena angkatan anak-anak dari sekolah Islam oentoek meloeaskan pengadjarannja di negeri-negeri asing, misalnja Toerki, Mesir, dan lainnja jang termashoer keislamannja” (Bandjarnegara no. 2) (Lihat “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah pada 30 Mart sampai dan dengan 2 April 1923 di Djokjakarta,” Soewara Moehammadijah no. 5 & 6/ Mei & Juni 1923.).
Pembentukkan Comite Fonds-Dachlan
Program internasional Muhammadiyah pertama adalah pembentukkan Comite Fonds-Dachlan pada 30 Maret 1923 oleh HB Muhammadiyah (sekarang Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Comite Fonds-Dachlan adalah lembaga yang mengupayakan bantuan beasiswa untuk anak-anak pribumi untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke negara-negara Islam.
Anak pribumi yang pertama kali akan dibiayai untuk melanjutkan studi ke luar negeri, berdasarkan kesepakatan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923, adalah salah seorang putra dari K.H. Ahmad Dahlan (Lihat “Fonds Dachlan,” Soewara Moehammadijah, no. 7/Juli 1923).
Lembaga penyandang dana bantuan studi ini telah banyak membantu putra-putri pelajar Islam di tanah air untuk melanjutkan studi lanjutan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada awal mula berdiri, comite ini lebih memprioritaskan pemberian beasiswa untuk studi ke luar negeri. Sebab, belum banyak lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas di tanah air pada waktu itu. Dengan demikian, Fonds-Dachlan merupakan program internasional pertama di Muhammadiyah.
Diplomasi Internasional
Sebagai bentuk internasionalisasi Muhammadiyah, tokoh-tokoh Muhammadiyah aktif melakukan diplomasi internasional. Sebagai respon atas gejolak politik di Turki pasca runtuhnya Turki Usmani, Muhammadiyah mengirim K.H. Mas Mansur (waktu itu Counsul Muhammadiyah Surabaya) untuk mengikuti muktamar dunia Islam di Makkah.
Muktamar Alam Islam di Makkah digelar atas undangan Raja Faisal pada tahun 1926. Kesempatan itu juga digunakan oleh K.H. Mas Mansur menyempatkan diri melakukan dialog dengan Raja Faisal di Muzdalifah.
Beliau menyodorkan statuten (anggaran dasar) Persyarikatan Muhammadiyah dan sekaligus menjelaskan maksud serta tujuannya. Dialog atau wawancara berlangsung khidmat karena K.H. Mas Mansur menjelaskan panjang lebar tentang gerakan Muhammadiyah di tanah air (Indonesia).
Pada saat yang bersamaan Haji Syujak juga sedang berada di Makkah untuk mengemban amanat HB Muhammadiyah untuk melakukan penyelidikan dalam rangka program perbaikan perjalanan haji di tanah air.
Sebelumnya, pada tahun 1923, Haji Fachrodin telah mengawali perjalanan dalam rangka penyelidikan penyelenggaraan ibadah haji di tanah air yang kerap sekali menimbulkan masalah.
Kini, agenda internasionalisasi Muhammadiyah menemukan akar historisnya. Narasi internasionalisasi Muhammadiyah memiliki pondasi pemikiran ideologis yang didokumentasikan dengan baik dan terekam jelas dalam perjalanan persyarikatan Muhammadiyah.
Upaya menggali narasi internasionalisasi Muhammadiyah ini tak lepas upaya untuk menyemangati dan menyukseskan program-program internasionalisasi Muhammadiyah.***
0 Komentar