![]() |
ilustrasi bincangsyariah.com |
OPINI, kiprahkita.com - Rasulullah SAW selalu menjamak dan meng-qashar shalat, ketika berstatus musafir atau melakukan perjalanan.
Jarak yang ditempuh Rasulullah SAW itu, minimal sejauh tiga mil atau tiga farsakh. Bila dikonvesikan ke kilometer, maka diperoleh angka lebih sedikit 4,8 kilometer. Jarak konkret tiga mil itu, disebut oleh Anas Ibn Malik.
Shalat dalam Islam memiliki ketentuan khusus. Melakukan shalat secara jamak dan qashar, memiliki dasar yang kuat dalam tuntunan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin.
Dalam riwayat hadis tergambar jelas, Nabi SAW bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman, melaksanakan shalat dalam perjalanan dengan cara yang berbeda dari shalat di tempat tetap.
Dalam keadaan safar (perjalanan), Nabi SAW meng-qashar shalatnya dari empat rakaat menjadi dua rakaat, sebuah tindakan yang diikuti pula oleh para Khulafaur Rasyidin.
Hadits yang meriwayatkan Ibn ‘Umar memberikan gambaran, praktik ini tetap dipegang teguh oleh para pemimpin umat Islam, setelah wafatnya Nabi SAW.
“Dari Hafs Ibn ‘Ashim (diriwayatkan) bahwa dia berkata, “… Aku pernah menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan (safar), beliau melakukan shalat dalam perjalanan tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku juga pernah menemani Abu Bakar, beliau melakukan shalat (dalam perjalanan) tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Aku juga pernah menemani ‘Umar, beliau melakukan shalat (dalam perjalanan) tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Kemudian aku juga pernah menemani ‘Utsman, beliau melakukan shalat (dalam perjalanan) tidak lebih dari dua rakaat sampai beliau wafat. Dan Allah berfirman, ”Sesungguhnya pada Rasulullah itu ada suri tauladan yang baik bagimu.” (H.R. Muslim).
Ketetapan ini bukan hanya mencerminkan ketaatan mereka terhadap Sunnah Rasulullah, tetapi juga menjadi landasan bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aktivitas perjalanan.
Hadits yang menceritakan peng-qasharan shalat dalam perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh, oleh Anas Ibn Malik memberikan pedoman konkret, mengenai jarak yang dapat dianggap sebagai perjalanan dalam konteks ini.
“Dari Yahya Ibn Yazid al-Huna’i (diriwayatkan bahwa) dia berkata: Aku bertanya kepada Anas Ibn Malik perihal meng-qashar shalat. Anas menjawab: Adalah Rasulullah SAW jika bepergian sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau shalat dua rakaat.” (H.R. Muslim).
Selain qashar, Shalat Jamak-Qashar juga mencakup kemungkinan untuk menjamak dua shalat dalam satu waktu, yaitu menyatukan Shalat Zuhur dan Ashar, dan menyatukan Shalat Isya dan Magrib.
Riwayat hadits dari Anas Ibn Malik memperkuat praktik ini, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakannya dalam perjalanan.
“Dari Anas Ibn Malik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah SAW menjamak Shalat Zuhur dan Ashar, dan Shalat Magrib dan Isya dalam perjalanan.” (H.R. Ahmad, dan disahihkan oleh al-Arna’uth).
Shalat Jamak-Qashar bukanlah semata-mata keringanan, melainkan sebuah tindakan yang memiliki dasar hukum yang kuat, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Hal ini memberikan keleluasaan kepada umat Islam, dalam memenuhi kewajiban ibadah mereka, terutama ketika berada dalam mobilitas atau perjalanan.
Dengan meneladani tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dalam Shalat Jamak-Qashar, umat Islam dapat menemukan keseimbangan, antara ketaatan terhadap agama dan keberlanjutan aktivitas sehari-hari.
Praktik ini menjadi bukti nyata, Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hal pelaksanaan ibadah, yang selaras dengan prinsip keadilan dan kebijaksanaan.(muhammadiyah.or.id)
Referensi:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi Muhammadiyah: Tanfidz Keputusan Munas Tarjih XXVIII, (Yogyakarta: Gramasurya, 2015).
0 Komentar