Samaun Bakri Wartawan Muhammadiyah di Tengah Krisis Indonesia Tahun 1947-1948

 

ilustrasi muhammadiyah.or.id

OPINI, kiprahkita.com - Tahun 1947-1948 adalah masa yang sangat krusial bagi Indonesia, yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. 

Selain harus menghadapi Agresi Militer Belanda yang kedua, yang memaksa ibukota Indonesia diungsikan ke Yogyakarta, negara ini, juga belum memiliki infrastruktur pertahanan yang memadai untuk menjaga kedaulatan dan mempertahankan kemerdekaan. 

Dalam situasi genting tersebut, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, melakukan berbagai inisiatif untuk memastikan kelangsungan hidup bangsa.

Salah satu inisiatif penting adalah penugasan rahasia yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada seorang tokoh Muhammadiyah, untuk membeli sebuah pesawat di India. 

Tokoh tersebut adalah Samaun Bakri, seorang pria kelahiran Padang Pariaman, Sumatra Barat, yang dikenal sebagai pejuang anti kolonialisme dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Samaun Bakri lahir di Nagari Kurai Taji, Nan Sabaris, Padang Pariaman, Sumatra Barat, pada 28 April 1908. Kakeknya dari pihak ayah adalah Bagindo Tan Labiah, seorang dubalang Tuanku Imam Bonjol, seorang pahlawan dalam Perang Padri. 

Darah pejuang mengalir dalam dirinya, yang kemudian membentuk karakter Samaun sebagai seorang yang teguh dalam menentang kolonialisme.

Sikap anti kolonialisme Samaun mulai tumbuh saat usianya baru menginjak 18 tahun. Saat itu, ia bekerja di kantor Residen Belanda dan sering menyaksikan berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap pribumi. 

Pengalaman ini menumbuhkan sentimen anti penjajahan dalam dirinya, dan ia kemudian aktif terlibat dalam berbagai organisasi pergerakan politik, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Muslim Indonesia (Permi), dan Partai Indonesia Raya (PARINDRA).

Wartawan Kritis

Perjuangan Samaun tidak hanya terbatas pada aktivitas politik, tetapi juga melalui media massa. 

Pada tahun 1929, ia memulai karier sebagai wartawan di Surat Kabar Persamaan. Lewat media ini, Samaun sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang dianggap merugikan rakyat. 

Sikap kritisnya ini membuat seorang kontrolir Pariaman, Spits, marah dan mengusirnya dari tanah kelahirannya. Samaun kemudian pindah ke Bengkulu bersama istri dan anaknya.

Di Bengkulu, Samaun melanjutkan perjuangannya melalui media dengan menjadi redaktur di Koran Sasaran. Melalui surat kabar ini, ia kerap mengkritik para petinggi adat Bengkulu seperti Demang, Asisten Demang, Pasirah, dan Depati yang dianggap menjadi kaki tangan pemerintah Hindia Belanda dan menyusahkan rakyat. 

Akibat kritik-kritik ini, pemerintah kolonial mengeluarkan persdelict atau surat peringatan kepada Surat Kabar Sasaran.

Meski demikian, persdelict ini tidak sepenuhnya meredam keberanian Samaun. Ia kemudian membesarkan Surat Kabar Persatoean dan Surat Kabar Penaboer, dan lebih banyak meliput kegiatan Soekarno selama berada di Bengkulu pada tahun 1938.

Namun, Samaun kembali menulis kritik keras pada tahun 1940 setelah anaknya diperlakukan tidak manusiawi oleh seorang dokter Belanda bernama Hoogezand yang memanggil anaknya dengan sebutan ‘kambing’ dan ‘melayu busuk’ saat mengantri di sebuah klinik. 

Marah atas penghinaan ini, Samaun memukul perut dokter tersebut dan menulis artikel berjudul ‘Dokter Busuk Mulut’. Akibat tindakannya ini, Samaun disidang.

Pada tahun 1941, Samaun sempat dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara oleh pengadilan kolonial karena dituduh sebagai Komunis. Tuduhan ini muncul setelah ia menulis sebuah buku berjudul ‘Si Patai’ yang memuat unsur-unsur revolusi.

Tugas Rahasia

Di tengah pergolakan Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, Samaun Bakri diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk membeli pesawat di India. 

Tugas ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat pertahanan udara Indonesia yang masih lemah pada masa itu. 

Samaun menjalankan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dan keberanian, meskipun harus menghadapi berbagai risiko di tengah kondisi Indonesia yang masih dalam situasi perang.

Samaun Bakri adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai peran yang ia jalani. 

Sebagai seorang pejuang anti kolonialisme, jurnalis kritis, dan pelaksana tugas rahasia negara, ia telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa ini di masa-masa krusial.

Terkuak Setelah 30 Tahun

Pada 10 Oktober 1948, rombongan Samaun Bakri, seorang pejuang yang ditugaskan untuk memperkuat pertahanan Indonesia, terbang menuju Bukittinggi dengan pesawat RI002. 

Rombongan tersebut terdiri dari kapten dan pilot Bobby Earl Freeberg, ko-pilot Bambang Saptoadji, ahli teknik Sumadi, operator radio Suryatman, dan ko-pilot kedua Santoso. 

Dalam misi tersebut, mereka membawa muatan berharga, termasuk 20 kg emas dari Cikotok, bersama dengan barang lainnya.

Pesawat RI002 berangkat dari lapangan udara Gorda, Serang, menuju Tanjung Karang, Lampung. Setelah tiba di Tanjung Karang, pesawat tersebut dijadwalkan melanjutkan perjalanan menuju Bukittinggi sebelum meneruskan perjalanan ke India. 

Namun, nasib naas menimpa mereka. Pada 1 Oktober 1948, pesawat tersebut mengalami kerusakan dan jatuh di tengah hutan di wilayah Lampung Tengah. Setelah jatuhnya pesawat, kabar tentang nasib rombongan Samaun Bakri seolah hilang ditelan bumi.

Selama bertahun-tahun, tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi pada pesawat RI002 dan penumpangnya. Berbagai spekulasi muncul, tetapi tidak ada informasi yang pasti. 

Hingga Presiden Soekarno wafat pada tahun 1970, misi ini tetap menjadi misteri besar. Baru 30 tahun kemudian, tepatnya pada 7 atau 14 April 1978, misteri ini mulai terkuak.

Pada tanggal tersebut, dua orang pencari rotan yang berada di bukit Punggur, Lampung, menemukan bangkai pesawat RI002 beserta kerangka jenazah penumpang dan awak pesawat. 

Anehnya, dari seluruh kerangka yang ditemukan, hanya satu yang tidak ada, yaitu kerangka Bobby Earl Freeberg, sang pilot. 

Temuan ini kemudian dilaporkan kepada Pemerintah Lampung Tengah, dan menjadi titik terang dari misteri yang telah berlangsung lama.

Tiga bulan setelah penemuan tersebut, Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Udara Ashadi Thahjadi, mengumumkan bahwa kru dan penumpang RI002 telah gugur dalam tugas mereka untuk Republik Indonesia, saat berusaha menembus blokade Belanda. 

Jasad kru Indonesia RI002 kemudian dimakamkan dengan kehormatan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang pada 29 Juli 1978. Namun, hingga kini, letak makam Bobby Freeberg tetap tidak diketahui.

Atas jasa-jasanya, pada tahun 2002, Bobby Freeberg dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra Utama oleh pemerintah Indonesia, sebuah penghormatan bagi pengorbanannya yang tak ternilai.

Untuk mengenang jasa dan perjuangan ayahnya, anak Samaun Bakri, Fuad S. Bakri, bersama Teguh Wiyono menulis sebuah buku berjudul Samaun Bakri, Sang Jurnalis dan Misteri Jatuhnya RI002

Buku yang diterbitkan oleh Rajawali Konsultan ini diluncurkan pada 20 September 2014 di Museum Teks Proklamasi, Jakarta. 

Buku ini mengupas lebih dalam tentang perjuangan Samaun Bakri dan misteri yang menyelubungi jatuhnya pesawat RI002, sekaligus menjadi penghargaan atas pengorbanan para pejuang yang mempertaruhkan nyawanya demi Republik Indonesia.(AFANDI, muhammadiyah.or.id)

Posting Komentar

0 Komentar