Sekolah Rakyat dan Jalan Baru Pendidikan Keterampilan: Kolaborasi Kemensos-Kemenaker dalam Meningkatkan Akses untuk Rakyat Kecil
JAKARTA, kiprahkita.com –Di tengah berbagai tantangan sosial dan ketenagakerjaan yang dialami masyarakat di Indonesia, upaya kolaboratif muncul antara Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk memanfaatkan Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai lokasi Sekolah Rakyat menghadirkan angin segar dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Inisiatif ini tidak hanya sekadar menambah angka sekolah, tapi juga menyentuh dimensi paling fundamental dalam pembangunan: membuka akses pendidikan bermakna bagi rakyat kecil.
![]() |
Rumah Ibu Rustini yang Menaruh Harapan pada Sekolah Rakyat untuk anak-anaknya |
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyebut bahwa 100 titik Sekolah Rakyat telah siap dijalankan, mulai dari rekrutmen siswa hingga tenaga pendidik. Pemerintah menargetkan tambahan 100 titik lagi, dengan memanfaatkan 41 BLK yang dikelola Kemenaker. Lebih dari sekadar lokasi, BLK memiliki peran penting sebagai wahana pembelajaran keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Inilah kekuatan utama dari Sekolah Rakyat: pendidikan yang bersifat aplikatif, langsung menyentuh realitas kehidupan, dan tidak terjebak dalam teori yang menjauh dari praktik.
Kiprah Kita di Rumah Rustini: Harapan dari Rumah Sempitnya
Dalam kunjungan kerja ke Banjarnegara, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bukan hanya meninjau proses penjaringan calon siswa Sekolah Rakyat. Ia juga bertemu dengan sosok sederhana yang menyentuh hati banyak orang: Rustini, seorang ibu tangguh dari keluarga miskin, yang hidup dalam keterbatasan, namun menyimpan semangat besar untuk pendidikan anak-anaknya.
“Saya tadi bertemu Ibu Rustini. Beliau adalah simbol perjuangan ibu-ibu tangguh di negeri ini. Rumahnya sempit, hidupnya sulit, tapi semangatnya luar biasa,” ujar Gus Ipul, Minggu (25/5).
Pernyataan ini sederhana, namun menyimpan makna dalam. Rustini adalah wajah dari jutaan perempuan Indonesia yang hidup dalam kemiskinan struktural, namun tetap menjadi tulang punggung keluarga, penjaga masa depan, dan penyala harapan. Dalam tubuh kecil dan rumah sempitnya, Rustini memeluk mimpi besar agar anaknya bisa mengenyam pendidikan, keluar dari lingkar kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sekolah Rakyat:Mimpi-mimpi Kecil
Penjaringan calon siswa pun dilakukan melalui forum Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2), sebuah ruang yang biasa dipakai untuk pendampingan keluarga miskin penerima bantuan sosial. Dari forum ini, lahirlah nama-nama seperti Rustini, yang meskipun hidupnya jauh dari kata cukup, tak pernah kehilangan harapan.
Rustini tahu bahwa hidup tak adil. Tapi ia juga tahu bahwa keputusasaan bukan pilihan. Sekolah Rakyat membuka jalan agar anaknya bisa menempuh pendidikan tanpa memikirkan biaya seragam, buku, atau transportasi. Di sinilah negara hadir secara nyata—bukan dalam bentuk angka statistik, melainkan dalam bentuk ruang belajar, guru, dan kursi plastik di ruang sederhana.
Ibu-Ibu Pejuang Tak Tertulis Pembangunan
Rustini bukan satu-satunya. Di setiap kampung miskin, di pinggiran kota, di desa-desa yang terpencil, selalu ada sosok ibu yang menjadi benteng terakhir harapan keluarga. Mereka bukan tokoh besar, tak punya jabatan, bahkan sering tak terdengar suaranya. Tapi dari tangan mereka, anak-anak tumbuh, belajar, dan suatu hari nanti menjadi manusia yang lebih baik dari orang tuanya.
Dalam banyak studi pembangunan, peran perempuan dalam keluarga miskin sering disebut sebagai "silent enablers"—mereka yang menjaga stabilitas emosional dan ekonomi rumah tangga dengan segala daya upaya. Ketika negara hadir melalui program seperti Sekolah Rakyat, maka sesungguhnya ia sedang memperkuat peran para ibu ini. Memberikan mereka senjata paling ampuh untuk melawan kemiskinan: pendidikan.
Dari Banjarnegara ke Indonesia
Cerita Rustini adalah potret kecil dari Banjarnegara, namun bisa ditemukan di seluruh penjuru negeri. Dari Sumatera hingga Papua, dari kolong jembatan hingga rumah panggung di tepi sungai. Sekolah Rakyat bukan hanya soal kurikulum dan fasilitas; ia adalah tentang keadilan sosial. Tentang memberikan kesempatan kedua bagi keluarga-keluarga yang selama ini hanya bisa berharap dari jauh.
Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk politik, kadang kita lupa bahwa pembangunan yang paling bermakna adalah pembangunan yang menyentuh manusia secara langsung. Rustini dan para ibu lainnya tidak meminta banyak: cukup satu ruang belajar, cukup satu guru yang sabar, cukup satu kursi untuk anaknya duduk dan belajar.
Mengapa Sekolah Rakyat Penting?
Sekolah Rakyat bukan sekadar alternatif dari sistem pendidikan formal. Ia adalah wujud konkret dari cita-cita pendidikan kerakyatan—pendidikan yang tidak elitis, tidak mahal, dan tidak kaku. Pendidikan ini menjawab kebutuhan masyarakat marjinal, yang sering kali tidak terlayani oleh sistem pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada nilai ujian, ijazah, dan kurikulum sentralistik.
Dalam konteks masyarakat miskin dan kelompok rentan, Sekolah Rakyat menawarkan solusi konkret: keterampilan praktis, kurikulum yang kontekstual, dan pembelajaran berbasis komunitas. Anak-anak dari keluarga tidak mampu bisa belajar tanpa terbebani oleh biaya besar, tanpa harus pergi jauh dari tempat tinggal, dan langsung dibekali dengan kemampuan kerja.
Kolaborasi dengan Kemenaker juga menunjukkan bahwa pemerintah kini semakin sadar akan pentingnya integrasi antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Sekolah Rakyat, dengan dukungan fasilitas BLK, menjadi ruang pendidikan yang juga berfungsi sebagai jembatan menuju kemandirian ekonomi. Dalam masyarakat yang tingkat penganggurannya masih tinggi, langkah ini sangat strategis.
Revolusi Pendidikan Keterampilan: Dari BLK ke Sekolah Rakyat
Selama ini, Balai Latihan Kerja (BLK) cenderung berjalan sendiri-sendiri, terpisah dari sistem pendidikan umum. Banyak masyarakat tidak tahu bahwa BLK memiliki ratusan program pelatihan yang sangat relevan dengan dunia kerja: dari menjahit, otomotif, perhotelan, hingga coding. Sayangnya, akses dan informasi ke BLK tidak tersebar merata, dan banyak fasilitas tidak dimanfaatkan optimal.
Dengan menjadikan BLK sebagai tempat berlangsungnya Sekolah Rakyat, dua kekuatan ini digabungkan: pendidikan dasar dan menengah yang membentuk pola pikir, serta pelatihan kerja yang membekali keterampilan. Ini adalah bentuk "revolusi tenang" dalam pendidikan vokasi Indonesia.
Apalagi, rencana pemerintah untuk melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dalam mengevaluasi kesiapan sarana dan prasarana Sekolah Rakyat menunjukkan bahwa program ini bukan asal-asalan. Ada niat baik untuk membangun sistem yang berkelanjutan, aman, dan berkualitas.
Strategi Efisien dan Tepat Sasaran
Salah satu keunggulan dari pendekatan ini adalah efisiensi. Daripada membangun gedung baru yang membutuhkan waktu, anggaran, dan pengelolaan baru, pemerintah cukup mengoptimalkan aset yang sudah ada. BLK tersebar di berbagai daerah dan sebagian besar sudah memiliki fasilitas lengkap: ruang praktik, instruktur, bahkan asrama.
Dengan begitu, Sekolah Rakyat bisa langsung berjalan tanpa harus menunggu infrastruktur baru. Ini mempercepat proses sekaligus menghindari pemborosan anggaran. Pendekatan ini mencerminkan semangat “mengurus rakyat dengan cara yang masuk akal”—tidak sekadar mengejar proyek fisik, tetapi memastikan dampaknya nyata bagi masyarakat.
Harapan di Tengah Tantangan
Namun tentu saja, program ini bukan tanpa tantangan. Pertama, dibutuhkan kurikulum yang benar-benar adaptif dan tidak kaku. Kedua, tenaga pendidik dan instruktur harus dibekali pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakter peserta didik dari kalangan rentan. Ketiga, perlu ada sistem evaluasi berkelanjutan agar Sekolah Rakyat tidak sekadar jadi proyek politik jangka pendek, tapi benar-benar menjadi bagian dari reformasi pendidikan nasional.
Di sinilah pentingnya pelibatan masyarakat sipil, organisasi keagamaan, dan komunitas lokal. Muhammadiyah, NU, serta lembaga pendidikan alternatif bisa berperan dalam memastikan Sekolah Rakyat tetap menjaga kualitas dan nilai-nilai kerakyatan.
Sekolah Rakyat adalah bentuk pendidikan yang berpihak. Ia berpihak pada mereka yang selama ini dipinggirkan. Dengan kolaborasi antara Kemensos dan Kemenaker, program ini menjadi semakin kuat dalam aspek teknis dan strategis. Namun, yang terpenting adalah menjaga semangat dasarnya: membangun manusia Indonesia yang mandiri, produktif, dan bermartabat—tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi.
Dalam dunia yang makin menuntut kompetensi dan ketahanan sosial, Sekolah Rakyat bisa menjadi jalan baru menuju masa depan yang lebih adil. Inisiatif seperti ini layak diperluas, diperkuat, dan dijaga keberlanjutannya. Karena pendidikan sejati adalah yang membuat rakyat berdaya, bukan sekadar memberi gelar.
Kolaborasi Kemensos-Kemenaker dalam Meningkatkan Akses untuk Rakyat Kecil
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia masih berada di angka 5,32%, dengan mayoritas pengangguran berasal dari lulusan SMA dan SMK. Artinya, sistem pendidikan formal saat ini belum sepenuhnya menjamin kesiapan kerja lulusan. Di sinilah Sekolah Rakyat masuk sebagai alternatif strategis.
![]() |
Sekolah Rakyat di Kalteng |
Sekolah Rakyat berbeda dari pendidikan formal pada umumnya. Fokusnya adalah pada pemberdayaan langsung berbasis keterampilan praktis, bukan sekadar penguasaan teori. Anak-anak dari keluarga miskin yang selama ini kesulitan menjangkau pendidikan berkualitas, akan mendapatkan ruang untuk belajar sekaligus berlatih sesuai dengan kebutuhan riil pasar kerja.
Pendidikan semacam ini sejalan dengan pendekatan “pendidikan kontekstual” yang berkembang dalam studi pedagogi kritis. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menjinakkan. Sekolah Rakyat hadir dengan semangat tersebut—memberdayakan rakyat melalui akses belajar yang membumi, inklusif, dan langsung berdampak.
Optimalisasi Balai Latihan Kerja (BLK)
Selama ini, BLK seringkali menjadi institusi yang undervalued—padahal potensi mereka sangat besar. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, per 2023 terdapat lebih dari 305 BLK di seluruh Indonesia, termasuk 23 BLK Komunitas dan 18 BLK maritim yang sedang dikembangkan. Namun banyak BLK yang kurang termanfaatkan maksimal karena keterbatasan peserta, pengelolaan, atau koneksi ke dunia industri.
Dengan menjadikan BLK sebagai basis Sekolah Rakyat, pemerintah tidak hanya menghemat anggaran pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga menghidupkan kembali lembaga-lembaga pelatihan yang selama ini kurang terpakai. Strategi ini menampilkan efisiensi fiskal sekaligus pemerataan akses pendidikan vokasional.
Program Sekolah Rakyat bisa memanfaatkan fasilitas pelatihan seperti mesin las, peralatan otomotif, lab komputer, hingga dapur boga—yang sebelumnya hanya digunakan oleh segelintir peserta pelatihan. Dengan skema baru, anak-anak muda dari keluarga miskin dapat mempelajari keterampilan seperti digital marketing, tata boga, otomotif, atau teknik pendingin ruangan, sesuai kebutuhan lokal dan tren industri saat ini.
Kualitas, Kurikulum, dan Pengawasan
Meski program ini sangat menjanjikan, beberapa tantangan perlu diperhatikan.
1. Kurikulum Adaptif
Kurikulum Sekolah Rakyat harus terus disesuaikan dengan perkembangan industri dan kebutuhan lokal. Misalnya, pelatihan pertanian organik di daerah agraris, atau desain grafis dan digital printing di wilayah urban.
2. Tenaga Pengajar
Sekolah Rakyat perlu instruktur yang tidak hanya menguasai keterampilan, tetapi juga memiliki pendekatan pedagogis yang sesuai dengan peserta didik dari latar sosial marjinal. Pelatihan bagi tenaga pendidik adalah keharusan.
3. Keberlanjutan dan Pengawasan
Tanpa sistem pengawasan dan evaluasi yang baik, ada risiko program ini hanya menjadi proyek politis jangka pendek. Untuk itu, pelibatan masyarakat sipil dan lembaga independen sangat dibutuhkan agar Sekolah Rakyat tetap berada pada jalurnya.
Peran Strategis Masyarakat Sipil
Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lembaga pendidikan berbasis komunitas memiliki potensi besar untuk memperkuat gerakan Sekolah Rakyat. Mereka bisa menyuplai tenaga pendidik, mendampingi kurikulum, dan menjamin kualitas pelaksanaan program di lapangan.
Muhammadiyah misalnya, telah memiliki pengalaman panjang dalam mengelola ratusan sekolah, universitas, dan BLK komunitas. Kolaborasi antara negara dan masyarakat sipil ini dapat memperluas jangkauan Sekolah Rakyat sekaligus menjaga jati dirinya sebagai pendidikan yang berorientasi pada rakyat.
Kesimpulan: Jalan Baru Pendidikan Kerakyatan
Sekolah Rakyat ternyata kita butuhkan. Sekolah hasil eksperimen sosial yang patut diperjuangkan. Di tengah kritik terhadap sistem pendidikan nasional yang elitis dan tidak relevan dengan kebutuhan kerja, Sekolah Rakyat menawarkan pendekatan baru yang lebih responsif terhadap tantangan zaman.
Dengan dukungan infrastruktur BLK, desain kurikulum keterampilan, dan keterlibatan berbagai kementerian serta organisasi masyarakat, program ini bisa menjadi model pendidikan kerakyatan masa depan. Pendidikan yang bukan hanya mengajar, tetapi juga memberdayakan.
Jika dikelola dengan serius dan berkelanjutan, Sekolah Rakyat bisa menjadi simbol transformasi sistem pendidikan Indonesia—dari sistem yang memisahkan rakyat dari peluang, menjadi sistem yang justru membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat untuk tumbuh, belajar, dan bekerja.
Referensi:
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2024.
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2023). Profil Balai Latihan Kerja.
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Kemensos RI. (2025). Keterangan Pers Menteri Sosial tentang Sekolah Rakyat.
Antara News. (2025). Kemensos-Kemenaker manfaatkan Balai Latihan Kerja untuk Sekolah Rakyat.
0 Komentar