Sengketa Empat Pulau: Prabowo Subianto Ambil Alih Langsung

Sengketa Empat Pulau antara Aceh dan Sumatera Utara: Ujian Awal Kepemimpinan Prabowo Subianto

JAKARTA, kiprahkita.com Polemik pemindahan empat pulau di wilayah Aceh ke administrasi Sumatera Utara menjadi salah satu isu yang menyita perhatian publik sejak Juni 2025 ini. Meski secara teknis hal ini berkaitan dengan penyesuaian data wilayah dalam sistem geospasial nasional, bagi masyarakat lokal—terutama warga Aceh—ini menyentuh aspek yang jauh lebih dalam: soal identitas, hak atas wilayah, dan kepercayaan mereka pada negara.

Presiden Ambil Alih Kasus Sengketa 4 Pulau 

Ketika Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan mengambil alih langsung penanganan sengketa ini, muncul harapan baru bahwa isu tersebut tidak akan menjadi api dalam sekam yang terus menyulut ketegangan antara daerah dan pusat. Namun, harapan itu hanya akan menjadi nyata jika negara hadir bukan sebagai pemilik keputusan semata, melainkan sebagai penengah yang adil dan akuntabel.

Bukan Sekadar Batas Wilayah

Empat pulau yang disengketakan—yang dalam catatan Badan Informasi Geospasial (BIG) sebelumnya tercatat berada di wilayah Aceh—muncul dalam dokumen resmi Kementerian Dalam Negeri sebagai bagian dari Sumatera Utara. Perubahan tersebut, meski diklaim sebagai hasil validasi teknis administratif, tidak melalui konsultasi dengan masyarakat lokal dan pemerintah Aceh.

Akrab disapa Mualem Gubernur Aceh Periode 2025-2030

Padahal, dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, proses perubahan administrasi wilayah tidak bisa dilepaskan dari asas partisipasi. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa perubahan batas wilayah harus melibatkan pemerintah daerah yang bersangkutan dan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Mengabaikan prinsip ini bukan hanya cacat prosedur, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Isu Identitas dan Luka Historis

Bagi masyarakat Aceh, wilayah bukan sekadar ruang geografis—melainkan bagian dari sejarah dan jati diri mereka sebagai bangsa yang pernah memiliki otonomi khusus berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, ketika sebuah pulau yang selama ini menjadi bagian dari Aceh secara administratif dipindahkan ke provinsi lain, hal itu dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan hak-hak Aceh.

Ini diperparah oleh luka historis masa lalu, di mana Aceh merasa seringkali menjadi korban dari pendekatan top-down pemerintah pusat. Maka, bukan hal yang mengejutkan jika reaksi publik di Aceh sangat keras terhadap isu ini. Demonstrasi, petisi, hingga pernyataan resmi dari DPR Aceh menggambarkan betapa persoalan ini bukan soal “pulau kecil” semata, tetapi tentang martabat dan kepercayaan yang terus diuji.

Negara Sebagai Penengah, Bukan Pemilik Keputusan

Keputusan Presiden Prabowo untuk mengambil alih persoalan ini patut diapresiasi. Namun, langkah tersebut harus diikuti dengan pendekatan yang partisipatif dan transparan. Presiden tidak cukup hanya mendengar laporan dari kementerian terkait—ia perlu membuka ruang dialog dengan pemerintah daerah Aceh dan Sumatera Utara, serta melibatkan lembaga independen seperti Komnas HAM dan ahli hukum tata negara.

Langkah penyelesaian yang berorientasi pada “jalan tengah” harus ditopang oleh data historis, hukum, dan sosial. Keputusan yang hanya berdasarkan peta digital tidak bisa menggantikan realitas sosial yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Tantangan Kepemimpinan Prabowo

Sebagai presiden baru, Prabowo Subianto menghadapi salah satu ujian awal yang krusial. Ia dituntut tidak hanya sebagai pemimpin militer atau politisi senior, tetapi sebagai negarawan yang mampu menjaga keutuhan Indonesia tanpa mengorbankan keadilan lokal.

Jika kasus ini ditangani dengan pendekatan sepihak, dampaknya bisa jauh lebih luas: memperkuat sentimen anti-pusat di daerah, menggerus legitimasi pemerintah pusat, dan bahkan memunculkan tuntutan otonomi yang lebih keras. Sebaliknya, jika Prabowo mampu menjadi fasilitator yang adil dan bijak, ini bisa menjadi pijakan kuat untuk membangun relasi yang lebih harmonis antara pusat dan daerah di masa pemerintahannya.

Kronologi Awal Sengketa Empat Pulau

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara bermula dari dinamika pasca pemekaran wilayah pada tahun 1956. Saat itu, Provinsi Aceh resmi dipisahkan dari Sumatera Utara dan keempat pulau—Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Lipan, dan Panjang—tercatat sebagai bagian Aceh berdasarkan peta tahun 1965.

Namun persoalan mulai muncul pada 2008, ketika Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melakukan dua kali pencatatan: pertama di Medan, yang memasukkan empat pulau ke dalam daftar pulau Sumut; dan kedua di Banda Aceh, yang justru tidak mencatat pulau-pulau tersebut sebagai bagian Aceh.

Kekeliruan makin membesar saat Pemerintah Aceh melaporkan data nama pulau ke PBB pada 2009 dengan koordinat yang tidak akurat, menyebabkan empat pulau itu diakui secara internasional sebagai wilayah Sumut. Meskipun Pemerintah Aceh mengajukan revisi dan keberatan sejak 2012, data spasial di kementerian terkait tetap menyebut keempat pulau berada di Sumut.

Hal ini mencapai puncaknya ketika Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SK No. 050-145/2022 yang secara resmi menetapkan pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Pemerintah Aceh menolak keras dan mengajukan somasi, serta membentuk tim advokasi khusus melalui DPRA.

DPRA Aceh usai Family Gathering 

DPRA adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Itu adalah lembaga legislatif provinsi yang setara dengan DPRD Provinsi di wilayah lain, tapi punya kekhususan karena Aceh memiliki status otonomi khusus berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ciri khas DPRA: Anggotanya berasal dari partai politik nasional dan partai lokal Aceh (nggak ada di provinsi lain). Mempunyai kewenangan lebih luas, misalnya dalam mengusulkan qanun (peraturan daerah) yang khas untuk Aceh. Bisa membentuk Panitia Khusus (Pansus) atau Tim Advokasi Wilayah seperti dalam kasus sengketa empat pulau itu.

Pada tahun 2022, Kemenko Polhukam sempat memfasilitasi dialog antara kedua provinsi. Hasil verifikasi lapangan justru menemukan fakta bahwa selama ini berbagai fasilitas publik seperti sekolah dan layanan administrasi telah diberikan oleh pemerintah Aceh di pulau-pulau tersebut. Namun, perbedaan data spasial dan ketegangan antar instansi membuat tidak ada keputusan final yang tercapai.

Ketegangan kembali memuncak pada April 2025, ketika Kemendagri memperbarui kode wilayah nasional dan kembali menegaskan bahwa empat pulau itu berada di bawah administrasi Sumatera Utara. Masyarakat dan elite Aceh bereaksi keras: aksi protes digelar, surat resmi dilayangkan, bahkan demonstrasi berlangsung di Pulau Panjang dan Jakarta.

Akhirnya, pada 14 Juni 2025, DPR menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan mengambil alih langsung penyelesaian sengketa ini, memunculkan harapan baru atas konflik wilayah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade ini.

“Empat Pulau, Banyak Cerita: Di Antara Nelayan, Adat, dan Sengketa” 

Meskipun tidak memiliki penduduk tetap, empat pulau sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara—yaitu Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—bukanlah wilayah kosong tanpa kehidupan. Sejak lama, masyarakat nelayan dari Aceh Singkil memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai tempat berteduh saat badai, area persinggahan, sekaligus wilayah tangkap ikan yang penting secara ekonomi maupun budaya. Kehadiran manusia di sana bersifat temporer, namun intensitasnya tinggi, terutama saat musim melaut.

Kehidupan nelayan di kawasan itu pun tidak lepas dari nilai-nilai adat yang kuat. Aturan tradisional melarang praktik penangkapan merusak seperti penggunaan pukat trawl atau bom ikan. Bahkan, ada larangan menebar pukat pada malam Jumat atau hari-hari tertentu dalam kalender Islam seperti hari tasyrik. Pelanggaran terhadap aturan adat tersebut bisa dikenai sanksi oleh komunitas nelayan. Ini menunjukkan bahwa pulau-pulau itu bukan sekadar ruang geografis, melainkan juga bagian dari tata nilai dan ruang hidup masyarakat Aceh.

Lebih jauh lagi, Pemerintah Aceh telah menegaskan kehadiran administratifnya di pulau-pulau itu melalui pembangunan berbagai infrastruktur. Di Pulau Panjang, misalnya, terdapat musala, rumah singgah, dermaga, bahkan monumen bertuliskan “Provinsi Nanggroe Aceh” sebagai penanda wilayah. 

Ada pula makam seorang ulama tua yang rutin diziarahi oleh warga pesisir Aceh. Di Pulau Mangkir Ketek, prasasti resmi bertuliskan wilayah administratif Aceh pernah dipasang pada 2018, memperkuat klaim de facto atas pulau tersebut.

Pulau-pulau ini juga memiliki potensi wisata alam, dengan pasir putih, air jernih, dan terumbu karang dangkal yang cocok untuk snorkeling. Namun, hingga kini belum ada pengelolaan serius dari pemerintah pusat ataupun daerah. Kondisi alam yang masih alami justru memperkuat fungsi konservasi dan nilai strategis dari wilayah ini, baik secara ekologis maupun geopolitik.

Dengan demikian, walau tidak berpenghuni secara permanen, keempat pulau ini jelas memiliki kehidupan—baik dalam bentuk aktivitas ekonomi tradisional, kehadiran sosial budaya, maupun simbol-simbol negara yang telah ditegakkan oleh Pemerintah Aceh. Menyebutnya sebagai “pulau kosong” jelas mengabaikan realitas lapangan yang kaya akan makna, jejak sejarah, dan keterikatan emosional masyarakat lokal.

Mendapat Wajar Tanpa Pengecualian ke 10 

Penutup

Sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara bukan hanya soal batas administratif, melainkan soal keadilan, identitas, dan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dalam konteks ini, Prabowo tidak sedang menyelesaikan peta, melainkan sedang menata ulang keutuhan bangsa. Sebuah keputusan yang adil, partisipatif, dan transparan akan menjadi warisan kepemimpinan yang dikenang baik oleh rakyat—bukan karena sekadar menyatukan pulau, tapi karena telah menjaga harga diri sebuah bangsa. (Yus MM/acehprov.go.id)

Baca Juga:

http://www.kiprahkita.com/2025/06/kiprah-kita-nuansa-baru-melanjutkan.html

http://www.kiprahkita.com/2025/06/ikat-alumni-umy-menjaga-asa-dan-citra.html

Baca Juga:

http://www.kiprahkita.com/2025/06/apakah-indonesia-sekeren-itu-bestie.html

http://www.kiprahkita.com/2025/06/padang-panjang-meluncurkan-program.html

http://www.kiprahkita.com/2025/06/wali-kota-padang-resmikan-atrium-by.html

http://www.kiprahkita.com/2025/06/mts-muhammadiyah-maligi-potret-lain.html

http://www.kiprahkita.com/2025/06/vishwash-ramesh-satu-satunya-penumpang.html


Posting Komentar

0 Komentar