JAKARTA, kiprahkita.com –Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali mencatat prestasi dalam upaya pemulihan kerugian negara. Dana hasil sitaan korupsi dan denda administratif kehutanan senilai sekitar Rp6,62 triliun telah berhasil ditarik kembali ke kas negara oleh institusi tersebut.
![]() |
| sekitar Rp6,62 triliun telah berhasil ditarik kembali ke kas negara |
Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, memberikan apresiasi atas capaian tersebut dan menegaskan bahwa pemulihan aset negara harus benar‑benar dirasakan oleh masyarakat luas. Ia menilai bahwa penegakan hukum tidak hanya berkutat pada penghukuman pelaku, tetapi lebih penting lagi pada upaya mengembalikan kerugian finansial yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi.
Menurut Rudianto, alokasi dana hasil sitaan itu seharusnya diarahkan pada program‑program yang langsung menyentuh kepentingan publik. Ia menyebut contoh seperti pembangunan hunian tetap bagi korban bencana dan renovasi fasilitas umum seperti sekolah. Bahkan, katanya, dengan nominal sebesar itu bisa mencukupi untuk renovasi sekitar 6.000 gedung sekolah di seluruh Indonesia.
“Wujudnya harus untuk kesejahteraan masyarakat. Apakah itu dimanfaatkan untuk membantu korban bencana atau pembangunan hunian, saya kira itu tidak masalah asal ujungnya kembali kepada masyarakat,” ujar Rudianto.
Rudianto juga mengkritik pendekatan penegakan hukum yang menurutnya selama ini lebih mengedepankan hukuman badan dan eksposur publik terhadap tersangka. Menurutnya, model “pamer hasil pemulihan aset” seperti yang dilakukan Kejagung baru‑baru ini merupakan cara baru yang lebih bermakna dalam pemberantasan korupsi.
Presiden Prabowo Subianto, yang turut menyaksikan simbolis serah terima dana sitaan tersebut kepada negara, sebelumnya menyinggung bahwa dana itu bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan publik yang mendesak. Bahkan dalam ilustrasinya disebutkan alokasi untuk rumah hunian dan infrastruktur sosial lainnya.
Upaya pemulihan kerugian negara lewat penyitaan dan pengembalian dana menjadi strategi penting dalam pemberantasan korupsi, sejalan dengan semangat memperkuat keuangan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan Kejaksaan Agung mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 6,62 triliun dari hasil sitaan dan denda administratif adalah langkah positif yang layak diapresiasi, sekaligus menunjukkan adanya upaya nyata dalam memulihkan aset negara yang direbut kembali dari tangan-tangan koruptor.
Komisi III DPR RI bahkan menyetujui penggunaan dana tersebut untuk kepentingan langsung masyarakat, seperti pembangunan hunian tetap bagi korban bencana dan renovasi sekolah.
Korupsi di Indonesia bukan fenomena sporadis; ia telah melahirkan kerugian negara yang menurut pakar hukum mencapai ratusan ribu triliun rupiah — jumlah yang riilnya hampir tak pernah transparan dilaporkan kepada publik. Kritik ini disampaikan dalam forum terbuka bahwa masyarakat bahkan tidak tahu ke mana dan bagaimana uang hasil pemulihan tersebut dikelola.
Ketika aset hasil korupsi baru terlihat dalam jumlah yang “besar” dan dipamerkan jika dikembalikan, sementara publik tidak pernah melihat transparansi lengkap dari ratusan ribu triliun yang diklaim telah diraih, maka narasi antikorupsi menjadi produk media, bukan instrument perubahan yang sistemik.
Penempatan uang hasil sitaan ke anggaran kesejahteraan publik — seperti pembangunan rumah atau renovasi sekolah — tampak bagus. Namun, alokasi dana semacam ini seharusnya diputuskan lewat jalur mekanisme hukum anggaran yang jelas dan publik, maka fungsi penegakan hukum menjadi jelas dan fungsi anggaran menjadi alat legitimasi negara nampak pula.
Artinya, penggunaan uang sitaan bukan sekadar masalah teknis alokasi, tetapi tentang siapa yang memutuskan, dengan agenda apa, dan seberapa jauh transparansinya untuk publik.
Selain aspek politik anggaran, persoalan hukum juga mengemuka. Dalam kerangka hukum Indonesia saat ini, pengaturan mengenai sitaan aset hasil tindak pidana korupsi masih lemah. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) serta kritikan terhadap pasal-pasal yang memungkinkan penyitaan terhadap aset yang belum terbukti jelas asalnya — bahkan milik pihak ketiga yang tidak bersalah — menunjukkan masalah serius dalam keadilan prosedural.
Belum adanya undang‑undang khusus yang kuat mengenai konfiskasi aset (Asset Confiscation Bill) membuat pengembalian aset korupsi sering terjadi secara parsial atau bergantung pada pendekatan administratif yang tidak selalu konsisten dengan prinsip hukum pidana yang adil.
Inilah yang mendorong wacana bahwa tanpa payung hukum yang lebih jelas, aset sitaan bisa menjadi alat kontingensi politik, bukan instrumen hukum yang menghukum koruptor sekaligus benar‑benar mengembalikan hak rakyat.
Kritik tajam yang muncul dari salah satu legislator — bahwa “lebih penting memamerkan uang daripada memamerkan orang” — menggambarkan perubahan fokus dari hukuman badan ke pemulihan aset. Tetapi seyogianya pemulihan aset bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari strategi jangka panjang yang memutus siklus korupsi. Tanpa reformasi institusional yang kuat, uang sitaan dijadikan simbol keberhasilan, sementara korupsi tetap tumbuh subur.
Lebih jauh lagi, tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, penggunaan uang sitaan bisa dipersepsikan sebagai klaim kebaikan pemerintah, bukan perbaikan sistemik dalam pemberantasan korupsi.
Uang hasil korupsi yang dikembalikan negara memiliki potensi besar untuk mengurangi penderitaan sosial dan memperbaiki kerusakan publik. Akan tetapi, tanpa: transparansi penuh atas jumlah dan alur pengembalian aset, payung hukum yang kuat atas confiscation dan pengelolaannya, serta mekanisme kontrol publik yang efektif, kita justru berisiko menjadikan sitaan korupsi sebagai alat legitimasi politik anggaran yang memoles wajah korupsi tanpa menyelesaikan akar masalahnya sendiri.
Penegakan hukum yang benar bukan hanya tentang menghitung angka, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah yang kembali kepada negara benar‑benar dikelola untuk rakyat, oleh sistem yang adil, dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Tanpa itu, reformasi antikorupsi hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan.(BS)*

0 Komentar