Oleh Musriadi Musanif
(Korda Singgalang Kabupaten Tanah Datar)
JAKARTA, kiprahkita.com - Enam alasan pokok beliau menulis puisi itu adalah bernyanyi, bercinta, mengenang keabadian, menangis irisan jarum perjalanan waktu, mengutuk busuknya nafas zaman, dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa.
![]() |
Taufiq Ismail |
Dengan puisi aku bernyanyi/sampai senja umurku nanti/dengan puisi aku bercinta/berbatas cakrawala/dengan puisi aku mengenang/keabadian yang akan datang/dengan puisi aku menangis/jarum waktu bila kejam mengiris/dengan puisi aku mengutuk/nafas zaman yang busuk/dengan puisi aku berdoa/perkenankanlah kiranya//
Secara umum, puisi tersebut di atas mencakup semua lini kehidupan manusia, dilihat dari sisi pandang Taufiq Ismail, seorang penyair yang tidak saja berperspektif masa kini dan masa lalu, tetapi jauh menelisik ke masa depan.
Dalam suasana Indonesia yang baru seumur jagung pada tahun 1965, Taufik sudah mengingatkan, nafas zaman yang akan datang itu sangat busuk, sehingga dari awal sudah sepatutnya dikutuk.
Dengan Puisi, Aku….mengingatkan orang-orang pada masa itu, bahwa bila tidak dikelola dengan baik, maka zaman yang akan datang bisa mencincang sendi-sendi kemanusiaan, keberagamaan, dan kenegaraan.
ARTIKEL SEBELUMNYA
Enam alasan menulis puisi yang diekspresikan dalam bentuk puisi, konsisten beliau terapkan di alam nyata, sejak tahun 1965 tersebut, berlanjut ke zaman orde baru selama 32 tahun sampai saat ini di era reformasi, suatu era yang ikut beliau perluangkan lewat puisi-puisinya, lalu kemudian dicurigai telah menyimpang dari cita-cita reformasi yang sesungguhnya.
Taufiq Ismail dengan meneguhkan komitmennya untuk ‘hidup dengan puisi’ sejak pertengahan 1950-an. Pilihan hidupnya untuk memuliakan puisi dan menjaga muruah kebudayaan, bukanlah tanpa risiko.
Ia berhadapan dengan tekanan dan teror kekuasaan yang represif. Tetapi, idealisme dan kecintaannya pada bangsa memberi kekuatan lain, dan puisi menjadi salah alat perjuangannya.
"Bahkan, ketika ketimpangan ekonomi sosial semakin menjadi-jadi di bawah kekuasaan Orde Baru, Taufiq membicarakannya dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia pada tahun 1999, untuk kemudian merekam dengan cermat pergerakan anak bangsa mengguliran reformasi, menumbangkan kedigdayaan pemerintahan Orde Baru itu."
Dengan Puisi, Aku…yang ditulis dan dipublikasikan pada 1965 menjadi pilar pokok keyakinan Taufiq, bahwa puisi adalah bagian dari realitas kehidupan yang perlu diselami maknanya, diteguhkan komitmennya, dan disadari daya kejutnnya terhadap semua lini kehidupan.
Dengan Puisi, Aku….menjadi jawaban atas pertanyaan banyak pihak, apa yang bisa diperbuat dengan ‘hanya berpuisi’.
Semangat dan idealisme yang sama pada zaman yang berbeda terlihat begitu nyara dalam puisi-puisi Taufiq Ismail. Bahkan, ketika ketimpangan ekonomi sosial semakin menjadi-jadi di bawah kekuasaan Orde Baru, Taufiq membicarakannya dalam Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia pada tahun 1999, untuk kemudian merekam dengan cermat pergerakan anak bangsa mengguliran reformasi, menumbangkan kedigdayaan pemerintahan Orde Baru itu.
Sejak Dengan Puisi, Aku disajikan dengan apik ke tengah-tengah publik, Taufiq yang sesungguhnya adalah dokter hewan itu terus melahirkan puisi; karya kepenyairan khas seorang ulama sastra, tokoh adat Minangkabau, pejuang, inspirator, dan dinamisator masyarakat itu.
Reputasinya sebagai penyair garda depan terbukti dengan banyaknya puisi-puisi beliau yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, seperti Dengan Puisi, Aku dan Debu di Atas Debu. Tidak sedikit pula penghargaan yang beliau terima dari pemerintah, universitas, dan lembaga atau institusi dalam dan luar negeri.(bersambung)
0 Komentar