Oleh Drs. Talkisman Tanjung
(Aktivis Organisasi, Guru, dan Pimpinan Muhammadiyah)
OPINI, kiprahkita.com - Berbicara perpolitikan di Indonesia, tentu terkait dengan potret partai-partai politik dan para praktisi politik yang ada.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, maka dimulailah babak baru pergulatan pemikiran, tentang eksistensi sebuah negara di kalangan para tokoh dan pendiri bangsa ini.
Tidak dapat dipungkiri, negara ini terbentuk dari sebuah tekad yang satu, dari berbagai elemen dan golongan yang ada di Indonesia. Tekad itu adalah "Merdeka".
Namun setelah kemerdekaan diproklamirkan, berbagai elemen bangsa ini kembali menampakkan keinginan dan kepentingan yang akan diperjuangkan masing-masing.
Mereka yang berlatar nasionalis kiri ingin agar bangsa ini beridiologi nasionalis kiri, demikian juga nasionalis kanan, menginginkan agar ideologi yang mendasari negara ini adalah idiologi nasionalis kanan.
Bagi yang berlatar agama, menginginkan dan sekaligus memperjuangkan ideologi bangsa ini adalah didasarkan kepada agama, dan demikian seterusnya.
Kita mengetahui, hasil pergulatan dan tarik tambang kepentingan tersebut adalah disepakatinya idiologi bangsa ini yaitu Pancasila. Satu sesi perdebatan dan pergulatan pemikiran dianggap selesai.
Puncak dari pergulan pemikiran tersebut adalah dirobahnya tujuh kata-kata di dalam Piagam Jakarta, menjadi kalimat : Ketuhanan Yang Maha Esa, dan selanjutnya piagam tersebut menjadi Pembukaan UUD 1945.
Tetapi, meskipun sudah ada kesepakatan diantara elemen-elemen bangsa bahwa Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, berbagai kelompok pemikiran tersebut tetap eksis, dan melakukan metamorfosa menjadi sebuah partai politik (parpol).
Melalui parpol itu, mereka berjuang mendapatkan kekuasaan secara konstitusional, sehingga tujuan, cita-cita, dan program-program yang mereka usung bisa mewarnai kebijakan-kebijakan negara.
Kita menemukan realitas politik di Indonesia yang sangat heterogen, itu terlihat banyaknya parpol yang menjadi kontestasi pada Pemilihan Umum (pemilu) pertama pada tahun 1955, diantaranya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai NU, PKI, PSII, Partai Kristen Indonesia (PARKINDO), Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kenerdekaan Indonesia ( IPKI), Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh Indonesia, dan lain-lain sebagainya.
Potret parpol pada saat itu sangat kental dengan mendarahdagingnya ideologi partai pada aktivis partai tersebut. Politisi berjuang tidak hanya untuk merebut kekuasaan, tetapi lebih jauh dari itu, yakni meyakini dan memperjuangkan idiologi masing-masing partai politik.
Fenomena loncat partai seperti yang terjadi hari ini nyaris tidak akan ditemukan, sebab para aktivis partai benar-benar berjuang untuk tegaknya ideologi partai di Negara Republik Indonesia ini.
Seorang Nasinalis PNI, tidak akan pernah ditemukan ada yang pindah partai, karena tidak tertampung kepentingannya di dalam PNI. Demikian juga aktivis Masyumi sampai titik darah penghabisan tetap Masyumi, dan ini terbukti ketika Masyumi dibubarkan oleh pemerintah, boleh dikatakan tidak ada aktivis Masyumi yang mencoba pindah atau bergeser ke partai lain.
Oleh karenanya, ketika pemerintah membuka kembali kesempatan untuk mendirikan parpol yang baru, para pengkikut Masyumi mendirikan partai baru, dan tetap bergabung dalam wadah yang sama dengan masyumi yakni Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Meskipun tidak semua ikut bergabung dengan partai yang baru ini.
Sebab, ada yang memilih tidak lagi berada di arena politik praktis, seperti Muhammadiyah yang semula menjadi anggota kehormatan Masyumi, namun lebih cenderung memilih bergerak di bidang dakwah amar ma'ruf nahi mungkar, tidak terikat dengan salah satu partai politik yang ada, dan keputusan inilah yang membuat Muhammadiyah bisa eksis sampai hari ini, karena tidak terkontaminasi dengan tarikan-tarikan kepentingan dari parpol.
Kemauan dan keinginan parpol untuk mengedepankan idiologi partai akhirnya, dikebiri oleh pemerintah Orde Baru, yaitu dengan melakukan fusi terhadap partai-partai politik yang berdekatan idiologi, visi dan misinya serta program-programnya.
Kita mengetahui, peserta Pemilu 1977 diikuti oleh parpol yang sudah difusi, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), partai yang diformulasikan sebagai partainya ummat Islam, Golkar (Golongan Karya), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia), sebagai partai yang diformulasikan sebagai gabungan partai-partai nasionalis, termasuk Partai Kristen, PKI, Partai Katolik dan partai-partai yang memiliki kesamaan idiologi, visi misi dan program-programnya.
Sehingga, Pemilu tahun 1977 merupakan babak baru perpolitikan di Indonesia, dimana saluran politik masyarakat hanya melalui tiga partai saja, yaitu PPP, Golkar dan PDI.
Kondisi itu berlangsung sampai pada 1997, di akhir kekuasaan Pemerintahan Orde Baru, karena pada 1998, secara resmi Presiden Soeharto mengundurkan diri, dan untuk selanjutnya Indonesia masuk pada babak baru lagi yaitu era Reformasi.
Kurang lebih selama 32 tahun, masyarakat Indonesia hidup dalam tekanan pemerintah Orde Baru, dan perasaan tertekan itu menyebabkan timbul dan menggelembungnya rasa ketidakpuasan, menyebabkan terjadinya pergolakan masyarakat, yang dimotori oleh para mahasiswa untuk menuntut pengalihan pemerintahan.
Sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri, maka dimulailah babak baru perpolitikan di Indonesia, dimana selama ini masyarakat Indonedia hidup dalam alam pengkebirian partai politik, maka seiring masuknya Orde Reformasi, membuat masyarakat Indonesia berekspresi kembali dengan mendirikan banyak parpo, sesuai visi dan misi masing-masing, meskipun haluannya sama yaitu kekuasaan baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Peserta Pemilu 1999 sebagai pemilu pertama di Era Reformasi diikuti oleh 48 parpol. Namun uniknya, paarpol di Era Reformasi satu pun partai yang dapat mengkondisikan kader-kadernya untuk tetap berjuang bersama, mengusung idiologi dan program-program partai tersebut.
Sebab, ada fenomena baru yang muncul di kalangan politisi, bahwa ketika kepentingan pribadinya tidak lagi terakomodasi di dalam partai, maka dengan mudahnya bagi yang bersangkutan untuk hijrah, atau pindah ke partai yang lain yang dianggap lebih representatif menampung ide, gagasan dan kepentingannya.
Nah di sinilah yang saya garisbawahi, ada fenomena yang berbeda antara parpol di masa lalu dengan parpol di zaman sekarang. Kalau dulu, orang aktif di parpol adalah untuk bersama-sama berjuang mengusung idiologi dan program dari partai tersebut.
Namun pada hari ini, orang berpolitik tidak peduli apa idiologi dan program partainya, sebab itu bisa saja dicocok-cocokkan, yang jelas bisa menjadi perahu untuk mewujudkan keinginan pribadi meraih kekuasaan atau mendapatkan kursi di parlemen, terserah apapun idiologi, visi dan misi partai.
Target utama adalah tujuan pribadi mendapatkan kursi di parlemen atau kekuasaan di pemerintahan, sehingga potret perpolitikan hari ini menimbulkan istilah baru, yaitu munculnya kost politik.
Orang akan siap mengerahkan dana pribadinya secara maksimal demi mendapatkan kekuasaan, sedangkan partai hanyalah sebuah perahu yang bisa mengantarkan seseorang menggapai keinginan dan cita-citanya.
Kalau dulu ada semboyan, sekali PNI atau Masyumi, tetap PNI atau Masyumi, pada hari ini tidak ada yang abadi. Begitu keinginan dan kepentingan pribadi tidak terakomodasi lagi di sebuah parpol, maka besoknya yang bersangkutan sudah pindah ke partai yang lain, dan berganti dengan kostum yang baru, tanpa ada rasa malu kepada masyarakat Indonesia, dan itu merupakan sesuatu yang lumrah, biasa terjadi di era ini.
Beda dengan kondisi di masa lalu, perbuatan loncat partai itu merupakan 'aib dan sesuatu yang tidak pernah untuk dilakukan oleh para politisi dikala itu.
Orientasi perpolitikan melalui parpol di masa lalu lebih cenderung kepada perjuangan untuk idiologi kelompok, yang dirumuskan di dalam idiologi partai dan program-program partai, namun hari ini perjuangan itu adalah perjuangan untuk mendapatkan kursi di parlemen, atau pemerintahan, tidak peduli apapun idiologi, visi dan misi dari parpol yang ditumpangi.
Parpol tidak lebih hanya sebagai perahu saja, yang akan mengantarkan seseorang menuju cita-cita dan keinginannya. Fenomena parpol di Indonesia sedang mengalami degradasi dan pergeseran-pergeseran.
Tidak menutup kemungkinan, seorang politisi akan tampil di setiap pemilu dengan partai dan kostum yang berbeda. Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung,Wallahu a'lam.***
Batahan, medio Desember 2023.
0 Komentar