Pertemuan Dubes Iran dan Muhammadiyah
NASIONAL, kiprahkita.com –Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah diwakili Syafiq Mughni menegaskan bahwa Muhammadiyah terus berupaya menyerukan persatuan umat Islam dalam melawan segala bentuk kezaliman.
![]() |
Syafiq Mughni dan Dubes Iran Berdialog |
Pernyataan tersebut disampaikan Syafiq saat menemui silaturahmi Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia yang berlangsung di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta pada Kamis (19/6).
Pertemuan antara Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta merupakan sebuah momentum penting yang mengandung makna lebih dalam daripada sekadar silaturahmi diplomatik. Dalam konteks dunia Islam yang sedang terpecah oleh konflik politik, sektarianisme, dan intervensi asing, dialog seperti ini menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk menyatukan suara—terutama dalam melawan kezaliman global yang tak kunjung surut.
Muhammadiyah dan Komitmen Moral Global
Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafiq Mughni, dalam pertemuan tersebut menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang terus menyuarakan pentingnya persatuan umat dalam menghadapi berbagai bentuk penindasan. Komitmen ini bukan sesuatu yang baru. Sejak masa awal berdirinya, Muhammadiyah tidak hanya fokus pada reformasi sosial dan pendidikan di Indonesia, tetapi juga menaruh perhatian terhadap isu-isu global, termasuk keadilan bagi rakyat Palestina, krisis kemanusiaan di Suriah, dan konflik berkepanjangan yang melibatkan kekuatan besar dunia.
Seruan untuk bersatu melawan kezaliman bukan hanya slogan normatif. Dalam praktiknya, Muhammadiyah sering mengambil posisi moral yang tegas. Dalam kasus agresi Israel ke Gaza, misalnya, Muhammadiyah secara konsisten mengecam tindakan militer yang menargetkan warga sipil dan fasilitas kemanusiaan. Di level internasional, suara Muhammadiyah bisa menjadi penyambung lidah umat Islam Indonesia dalam percaturan opini publik dunia.
Iran: Di Antara Konflik dan Ketahanan
Dalam pertemuan itu, Duta Besar Iran menyampaikan pesan yang jelas: negaranya tidak menginginkan perang, namun siap untuk membela diri jika diserang. Ini adalah pernyataan yang mencerminkan sikap politik luar negeri Iran yang defensif, namun strategis. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran memang menempuh jalur yang berbeda dari banyak negara di Timur Tengah—mengandalkan retorika perlawanan terhadap imperialisme dan mendukung kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas.
Pernyataan Dubes Boroujerdi seolah merespons tuduhan Barat dan sekutunya bahwa Iran adalah provokator konflik. Dalam narasi Iran, serangan militer Israel ke wilayah Suriah dan pembunuhan tokoh-tokoh penting Iran (seperti Jenderal Qassem Soleimani) merupakan bentuk agresi terang-terangan. Maka dari itu, kesiapan membela diri adalah bentuk perlawanan sah terhadap ekspansi kekuasaan dan dominasi militer di kawasan.
Namun demikian, posisi Iran juga tidak lepas dari kontroversi. Sebagian negara Arab melihat kebijakan luar negeri Iran sebagai campur tangan dalam urusan domestik mereka, dan menuduh Iran memperpanjang konflik melalui dukungan terhadap kelompok bersenjata. Di sinilah pentingnya dialog antarumat dan antarlembaga seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah—untuk mencari titik temu dan meredam prasangka sektarian yang merusak solidaritas Islam global.
Meneguhkan Diplomasi Nilai: Peran Strategis Muhammadiyah
Muhammadiyah bukan negara, bukan kekuatan militer, bukan pula aktor politik global. Namun justru karena itulah suara Muhammadiyah lebih leluasa dalam membawa pesan moral yang melampaui kepentingan sempit negara atau aliansi geopolitik. Muhammadiyah bisa memainkan peran sebagai jembatan antara kekuatan-kekuatan yang saling bersitegang, dengan mengedepankan diplomasi nilai: keadilan, kemanusiaan, dan kemerdekaan berpikir.
Pertemuan dengan Dubes Iran adalah salah satu bentuk diplomasi nilai tersebut. Ini bukan tentang menyetujui seluruh kebijakan luar negeri Iran, melainkan membuka ruang dialog yang sehat dan beradab. Di tengah dunia yang makin keras, dialog menjadi bentuk perlawanan terhadap narasi kekerasan yang kini marak tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di ruang digital.
Muhammadiyah juga punya posisi strategis di Indonesia—negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Suara Muhammadiyah bisa menjadi opini publik penyeimbang dalam wacana internasional. Saat dunia tergiring oleh propaganda media Barat yang mendominasi narasi global, penting ada kekuatan sipil Muslim yang tetap jernih memandang konflik: mengutuk kekerasan dari siapa pun pelakunya, dan mendukung perdamaian dengan adil, bukan sekadar kompromi yang berpihak pada yang kuat.
Penutup: Dari Simbolik ke Aksi Nyata
Pertemuan Muhammadiyah dan Dubes Iran harus dimaknai bukan sebagai dukungan politik kepada negara tertentu, melainkan sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran kolektif umat. Bahwa kezaliman, di mana pun dan oleh siapa pun, harus dilawan. Bahwa perbedaan mazhab, ideologi, atau kepentingan geopolitik tidak boleh memecah belah perjuangan umat Islam terhadap penjajahan dan ketidakadilan.
Kini tantangannya adalah bagaimana mendorong pertemuan semacam ini melahirkan aksi nyata: kolaborasi kemanusiaan, pertukaran pemikiran, dan penguatan jaringan lintas negara yang berbasis pada nilai, bukan kekuasaan.
Muhammadiyah punya sejarah dan kapasitas untuk itu. Dan dunia Islam membutuhkannya lebih dari sebelumnya. (Muhammadiyah.or.id)
Baca Juga
Kabar Din Syamsudin
https://www.kiprahkita.com/2025/06/mantan-ketua-umum-muhammadiyah-din.html
Mahasiswa di Yordania dan Perang Iran Israel
https://www.kiprahkita.com/2025/06/nasib-mahasiswa-indonesia-di-tengah.html
SPMB SMA
https://www.kiprahkita.com/2025/06/jangan-tunggu-demo-baru-tambah-kelas.html
Motivasi dari Alumni MTsN
https://www.kiprahkita.com/2025/06/menuju-tak-terbatas-dari-mtsn-padang.html
0 Komentar