Bupati, Serahkan Bantuan untuk Warga Terdampak di Sikabau
PASAMAN BARAT, kiprahkita.com –Bupati Pasaman Barat, Yulianto, Minggu (21/12) menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk warga yang terdampak banjir di Sikabau, Kementerian Parit Koto Balingka, Pasaman Barat.
![]() |
Kehadiran Bupati dan rombongan di Sikabau merupakan bentuk respons cepat sekaligus kepedulian Pemerintah Pasaman Barat dalam penanganan bencana. Selain itu, memantau kondisi lapangan secara langsung.
Kedatangan rombongan disambut masyarakat setempat dengan penuh suka cita. Bantuan yang disalurkan meliputi 3,66 ton beras, dan 102 paket sembako dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sementara itu, Polda Sumatera Barat melalui Polres Pasaman Barat menyalurkan bantuan berupa 10 dus biskuit, 100 dus mi instan, 20 dus air mineral, 60 pel lantai, serta empat kodi pakaian layak pakai.
Selain bantuan tersebut, Dinas Sosial Pasaman Barat turut memberikan dukungan logistik berupa selimut, kasur, perlengkapan bayi, makanan siap saji, serta terpal untuk memenuhi kebutuhan dasar warga terdampak selama masa pemulihan.
Bupati Yulianto, pada kesempatan itu berikan apresiasi kepada niniak mamak, alim ulama, serta seluruh tokoh dan masyarakat Jorong Sikabau atas kebersamaan dan semangat gotong royong selama masa tanggap darurat bencana. Ia juga menyampaikan permohonan maaf karena baru dapat hadir akibat akses jalan yang terputus dan kerusakan jembatan akibat banjir.
“Saya mengucapkan terima kasih atas kebersamaan seluruh masyarakat selama menghadapi bencana ini. Saya juga mohon maaf baru bisa hadir hari ini karena akses menuju lokasi sempat terputus akibat banjir dan jembatan rusak,” ujar Yulianto.
Sementara itu, Ketua DPRD Pasaman Barat Dirwansyah mengapresiasi perhatian dan bantuan dari Pemerintah Daerah, TNI, dan Polri, termasuk langkah cepat dalam penanganan dan perbaikan jembatan yang terdampak. Ia menambahkan bahwa kondisi wilayah pascabencana mulai berangsur membaik, dan pemerintah daerah akan terus berupaya mempercepat pembangunan infrastruktur meski di tengah keterbatasan anggaran.
Kehadiran Bupati Pasaman Barat Yulianto di Sikabau pascabanjir bukan sekadar agenda seremonial penyaluran bantuan, melainkan sitawa sidingin sebagai ujian nyata tentang bagaimana negara (Pemimpin) hadir di tengah krisis.
Bantuan logistik yang disalurkan—mulai dari beras, sembako, hingga perlengkapan dasar—jelas penting dan patut diapresiasi. Namun, bencana selalu lebih dari sekadar urusan distribusi barang; ia membuka tabir tentang kesiapan infrastruktur, kecepatan respons, dan keberlanjutan kebijakan pemerintah daerah dalam melindungi warganya.
Respons cepat yang digaungkan pemerintah daerah menjadi catatan positif, terutama dengan keterlibatan Forkopimda, OPD, TNI, dan Polri. Akan tetapi, fakta bahwa bupati baru dapat hadir karena akses jalan terputus dan jembatan rusak justru menggarisbawahi persoalan klasik yang berulang: lemahnya infrastruktur di wilayah rawan bencana. Banjir memang musibah alam, tetapi keterisolasian warga akibat jembatan rusak adalah persoalan kebijakan dan perencanaan jangka panjang yang belum tuntas.
Gotong royong masyarakat Sikabau—yang dipuji langsung oleh bupati—sekali lagi menjadi penopang utama di saat negara belum sepenuhnya sigap. Ini menunjukkan kekuatan sosial masyarakat, tetapi sekaligus menjadi ironi: solidaritas warga sering kali harus menutup celah yang ditinggalkan oleh sistem. Apresiasi kepada niniak mamak, alim ulama, dan tokoh masyarakat memang penting, namun tidak boleh berhenti sebagai pujian simbolik tanpa tindak lanjut konkret berupa penguatan mitigasi bencana.
Pernyataan Ketua DPRD Pasaman Barat tentang keterbatasan anggaran juga jujur, tetapi di sinilah letak tantangan kepemimpinan daerah. Keterbatasan tidak boleh menjadi alasan stagnasi. Justru bencana semestinya menjadi alarm keras untuk menggeser prioritas pembangunan—dari yang bersifat kosmetik menuju infrastruktur dasar yang menyelamatkan nyawa dan mata pencaharian warga.
Pada akhirnya, banjir di Sikabau adalah cermin. Ia memantulkan kepedulian pemerintah melalui bantuan, tetapi juga memperlihatkan pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Bantuan bisa habis dalam hitungan hari, tetapi jembatan yang kokoh, jalan yang layak, dan sistem mitigasi yang matang adalah bentuk empati paling nyata dari sebuah pemerintahan. Di situlah publik akan menilai: apakah kehadiran pemimpin hanya hadir saat krisis, atau benar-benar bekerja agar krisis yang sama tidak terus berulang. (gmz)

0 Komentar