![]() |
Aceh setelah dilanda tsunami pada 26 Desember 2004.(kemenkeu.go.id) |
BANDA ACEH, kiprahkita.com - Pada 26-29 Agustus 2024, Kota Banda Aceh menjadi pusat perhatian para ahli kebencanaan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Direktorat Sistem Penanggulangan Bencana, bersama dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan Balai Arsip Tsunami Aceh (BAST) ANRI, melaksanakan serangkaian studi dan kunjungan ke berbagai lokasi bersejarah di Aceh.
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka pengembangan portal Literasi Sejarah Bencana, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menghimpun data terkait sejarah kejadian bencana tsunami di Aceh.
Kegiatan dimulai dengan koordinasi dan berbagi informasi mengenai perkembangan kesadaran masyarakat Banda Aceh dalam menghadapi bencana, hasil dari kegiatan sosialisasi dan edukasi yang telah dilakukan oleh BPBA bersama mitra terkait. Sejak tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada tahun 2004, BPBA telah mengimplementasikan berbagai strategi mitigasi bencana.
Namun, tantangan besar masih ada dalam mengedukasi dan mempersiapkan masyarakat agar lebih siap menghadapi kemungkinan bencana di masa depan.
Setelah itu, perhatian tertuju pada Balai Arsip Statis dan Tsunami Aceh (BAST) ANRI. Di sini, tim BNPB menggali data dan informasi lebih lanjut mengenai penanganan tsunami 2004.
Arsip-arsip ini memegang peranan penting, menjadi bukti vital dari kejadian yang telah mengguncang dunia.
Dokumentasi, laporan penanganan, foto, dan rekaman audio-visual yang tersimpan di BAST ANRI menjadi saksi bisu dari tragedi tersebut, memberikan pembelajaran yang sangat berharga untuk masa yang akan datang.
- BERITA TERKAIT
- Refleksi Tsunami Dahsyat di Aceh 2004
- BMKG Ingatkan Ancaman Tsunami Nonseismik
- Kabar Tsunami akan Landa Sumatera tak Sepenuhnya Benar
Kunjungan berikutnya dilakukan ke Museum Tsunami Aceh. Museum ini bukan hanya menyajikan pameran yang menggugah emosi tentang peristiwa tsunami 2004, tetapi juga berfungsi sebagai pusat edukasi dan penelitian terkait pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Di museum ini, pengunjung tidak hanya diajak untuk mengenang, tetapi juga diajak untuk memahami pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Pentingnya kesiapsiagaan bencana semakin ditekankan melalui kunjungan ke beberapa escape building atau gedung evakuasi bencana yang tersebar di kawasan pesisir.
Gedung-gedung ini, yang dibangun pasca-tsunami, dirancang sebagai tempat evakuasi sementara bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan tsunami. Kunjungan juga dilakukan ke kuburan massal, monumen "Thanks to the World" sebagai ucapan terima kasih kepada dunia yang telah membantu Aceh bangkit, serta PLTD Apung, sebuah kapal dengan berat 2000 ton yang terseret ombak tsunami sejauh 5 km ke daratan.
Kegiatan ini ditutup dengan kunjungan ke Gua Ek Lentie di Kabupaten Aceh Besar.
Di dalam gua ini, tersimpan endapan sedimentasi yang menjadi saksi bahwa wilayah Aceh telah mengalami tsunami sejak 7000 tahun silam.
Prof. Nazli Ismail dari Universitas Syiah Kuala menjelaskan, endapan ini mengandung fosil cangkang kerang laut dalam yang masih utuh, menunjukkan bahwa sedimen tersebut terbawa oleh ombak tsunami.
Dengan dilakukannya studi dan site visit ini, diharapkan sejarah dan pembelajaran dari kejadian tsunami Aceh, dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam serta meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan bersama dalam menghadapi bencana di masa depan.(Tim Literasi Sejarah Kebencanaan BNPB)
0 Komentar